Laman
Arsip Blog
Minggu, 19 Februari 2012
Sabtu, 18 Februari 2012
Selasa, 14 Februari 2012
PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP
Teks dan Konteks dalam Sistem Pemidanaan
Teks dan Konteks dalam Sistem Pemidanaan
Oleh
Letkol Chk Agustinus PH, SH., MH
Letkol Chk Agustinus PH, SH., MH
A. Pendahuluan
Pidana dan pemidanaan tidak pernah sepi dari perdebatan, diskusi dan kajian-kajian, baik yang bersifat akademis maupun pragmatis. Kita masih ingat, beberapa waktu belakangan ini, salah satu persoalan tekait dengan sistem pemidanaan juga diramaikan dengan munculnya gagasan yang dikemukakan oleh Menteri/Wakil Menteri Hukum dan HAM tentang remisi, khususnya remisi terhadap terpidana tindak pidana korupsi.
Ramainya silang pendapat terkait dengan remisi yang merupakan rangkaian dalam proses pemidanaan menunjukkan betapa besarnya perhatian masyarakat, utamanya pemerhati hukum pidana, maupun pihak-pihak yang berkepentingan, dengan ’kebijakan’ yang digagas oleh pemerintah tersebut. Remisi atau yang juga dikenal sebagai pengurangan pidana, sudah barang tentu berhubungan dengan pidana penjara, khususnya pidana penjara sementara atau pidana penjara yang ada batasan lamanya waktu pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim/pengadilan.
Menjadi persoalan, ketika suatu pidana penjara adalah seumur hidup, apakah dalam pidana penjara seumur hidup juga dapat berlaku sistem remisi. Persoalan pidana penjara seumur hidup tidak hanya terkait dengan remisi, tetapi juga pemahanan dari segi hakikatnya, ternyata masih ada pendapat yang berbeda untuk memberikan makna dan memahaminya. Tidak kalah menarik, pidana penjara seumur hidup, jika dihadapkan dengan tujuan pemidanaan, aspek-aspek sosial dan psikologis narapidana, dan sebagainya.
Teks mengenai pidana penjara seumur hidup dalam sistem hukum pidana Indonesia, di dasarkan pada Buku I Aturan Umum KUHP sebagai acuan pokok, ternyata tidak ada penjelasan yang memadai, dan sangat singkat rumusannya. Pada sisi yang lain, memahami pidana penjara seumur hidup harus dalam konteks sistem pemidanaan, sehingga pidana penjara seumur hidup terkait dengan berbagai perundang-undangan, tidak hanya dengan KUHP, sebagai mana dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman (Barda Nawawi Arief, 1996: 129) bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Berdasar pada pandangan ini, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Dalam arti yang singkat, Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan itu sebagai susunan pidana dan cara pemidanaan ( Andi Hamzah, 1986: 1).
Dengan pemahaman menurut Hulsman ini, sistem pemidanaan berarti memiliki keterkaitan dengan beberapa perundang-undangan, yaitu semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substansial, hukum pidana prosedural, dan hukum pelaksanaan pidana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem. Jadi, sistem pemidanaan tidak hanya didasarkan pada hukum pidana materiil yang merumuskan delik-delik dan sanksinya saja. Dalam konteks pidana penjara seumur hidup, tidak hanya KUHP saja, tetapi juga menyangkut dengan Undang-undang acara pidana, dan Undang-undang pelaksanaan pidana dengan berbagai aturan di bawahnya.
B. Hakikat Pidana Penjara Seumur Hidup.
Sanksi pidana merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana, karena seringkali sanksi pidana menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa. (Sholehuddin, 2003: 55). Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Meskipun tata nilai tersebut ada yang sifatnya universal dan abadi, tetapi dari jaman ke jaman ia juga dapat bersifat dinamis. Sifat kedinamisan tata nilai berlaku pula pada sistem pemidanaan dan sistem sanksi dalam hukum pidana, termasuk di Indonesia.
Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang diandalkan oleh berbagai negara untuk menanggulangi kerjahatan. Meski dirasakan ada beberapa kelemahan dari sistem pidana penjara, namun nampaknya akan sangat sulit mencari bentuk atau jenis sanksi lain selain pidana penjara yang dipandang sebagai sarana yang efektif untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.
Dalam sistem hukum pidana nasional, khususnya merujuk pada Aturan Umum, Tekstual pidana penjara seumur hidup ditentukan dalam Pasal 10 KUHP bahwa salah satu jenis pidana adalah pidana penjara, yang berdasarkan Pasal 12 ayat (1) pidana penjara itu lamanya seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara, adalah pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar. (PAF. Lamintang, 1986: 58).
Berkaitan dengan pidana penjara, Pasal 12 KUHP merumuskan sebagai berikut:
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup dan selama waktu tertentu.
(2) Pidana selama waktu tertentu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara untuk selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejhatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (recidiv) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52-a.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.
Beradasarkan teks Pasal 12 tersebut, untuk pidana penjara selama waktu tertentu, KUHP telah secara tegas memberikan batasan jangka waktunya yaitu lima belas tahun berturut-turut dan minimal satu hari. Sedangkan untuk pidana penjara seumur hidup KUHP tidak memberikan penjelasan. Tidak adanya batasan dan penjelasan mengenai pidana penjara seumur hidup, sering kali menimbulkan kerancuan penafsiran sehingga dalam memaknai dan memahami pidana penjara seumur hidup menimbulkan dua pendapat:
1. Pendapat pertama, di kalangan awam hukum, istilah “seumur hidup” sering diartikan sebagai sama dengan umur (hidup) pelaku tindak pidana pada saat melakukan tindak pidana. (Dengan asumsi demikian, maka apabila pada usia 25 tahun misalnya, seseorang melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukannya itu ia dijatuhi pidana seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah sama dengan usia/umur pelaku pada saat melakukan tindak pidana, yaitu 25 tahun (Tongat, 2004:37).
2. Pendapat kedua, termasuk pendapat penulis, bahwa meskipun KUHP tidak menjelaskan secara tegas tentang pidana penjara seumur hidup, tetapi pidana penjara seumur hidup harus dimaknai sebagai pidana selama hidup atau sepanjang hidup atau selama sisa hidup si terpidana. Pendapat kedua ini didasarkan pada:
a. Secara doktrinal, berdasarkan pendapat Prof. Barda Nawawi Arief yang menyatakan:
Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana (penjara) seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana penjara sepanjang hidupnya. (1995: 17).
Pendapat Roslan Saleh, bahwa orang menjadi keberatan terhadap pidana seumur hidup. Sebab dengan putusan yang demikian, terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali ke dalam masyarakat. (1987: 17) Artinya, terpidana menjalani pidana penjara seumur hidup selama sisa hidupnya di dalam penjara.
b. Menurut dokumen internasional, penjelasan United Nations, Crime Prevention and Justice Branch tahun 1994 tentang Life Imprisonment. Pada introduction di sebutkan: ”... a life sentence mean that a person must spend the rest of his or her natural life in prison. (... Hukuman seumur hidup, seseorang harus mendekam untuk sisa hidupnya di dalam penjara).
c. Secara logika hukum, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan Menjalani Masa Menjalani Pidana (Remisi), bahwa bagi terpidana seumur hidup dapat diajukan permohonan untuk diberikan perubahan pidananya menjadi pidana penjara sementara. Pada Pasal 7 ayat (2) dinyatakan: ”Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden.”
Dengan ketentuan ini, maka pidana penjara seumur hidup untuk dapat berubah menjadi pidana penjara sementara hanya dapat dimungkinkan melalui mekanisme Grasi. Dimana grasi adalah hak presiden sebagai Kepala Negara untuk memberikan ampun kepada seseorang tertentu yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Dengan adanya ketentuan ini, menunjukkan bahwa pidana penjara seumur hidup dapat menjadi pidana penjara sementara, sehingga apabila tidak ada grasi dari Prseiden yang menyatakan perubahan menjadi pidana penjara sementara waktu tertentu, berarti terpidana menjalani pidananya selama sisa hidupnya di dalam penajara/Lembaga Pemasyarakatan.
C. Praktik Penerapan Pidana Penjara Seumur Hidup di beberapa negara.
Pada hakikatnya, pidana penjara seumur hidup adalah pidana penjara selama sisa hidup yang harus dijalani terpidana di dalam penjara. Namun dalam praktik pelaksanaannya di beberapa negara, Terpidana tidak menjalani pidana penjaranya selama hidupnya di dalam penjara. Di beberapa negara, pelaksanaan pidana penjara seumur hidup dijalani secara bervariasi. Sebagian besar negara-negara, karena pertimbangan psikologis dan sosiologis, memberikan kelonggaran dan peringanan bagi terpidana penjara seumur hidup, sehingga dalam batas waktu tertentu terpidana seumur hidup diberikan pembebasan.
Dari data yang dihimpun oleh PBB sebagaimana dipublikasikan oleh Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Kriminal PBB (United Nations, Crime Prevention and Justice Branch), bahwa penerapan hukuman/pidana penjara seumur hidup berbeda dimana-mana. PBB dalam beberapa kali kongres-nya telah memberikan perhatian yang serius terhadap pidana penjara seumur hidup. Sejak kongres ke-6 PBB tentang Pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap si pelaku (Prevention of crime and the treatment of offenders) yang diselenggarakan di Caracas 25 Agustus s.d 5 September 1980, PBB telah meningkatkan perhatiannya terhadap kebijaksanaan kriminal terhadap Narapidana yang dihukum dalam jangka waktu lama dan menitikberatkan tentang problematika yang khusus dari hukuman seumur hidup. Dalam kongres itu telah dibentuk sub komite yang menyusun suatu agenda tentang ”Deinstitusionalisasi dari lembaga kemasyarakatan dan implikasinya terhadap hukuman dalam jangka panjang (long-term imprisonment) khususnya hukuman seumur hidup, tidak mencapai tujuannya terkecuali ada upaya yang cukup untuk mengembalikan si narapidana ke masyarakat.
Secara lebih khusus, dalam kongres PBB ke-8 tentang: ”Pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap si pelaku” (Prevention of crime and the treatment of offenders) di Havana 27 Agustus sd 7 September 1990, meminta Komite Pencegahan dan Pengawasan Kejahatan untuk mengkaji kedudukan hukum atas hak-hak dan kewajiban dari Narapidana yang dihukum seumur hidup dan meninjau keabsahannya untuk dibebaskan bersyarat (conditional release).
Banyak negara, pada umumnya, lamanya waktu pidana penjara seumur hidup, dalam sistem hukumnya menentukan waktu minimal hukuman seumur hidup yang akan diterapkan kepada tepidana sebelum dipertimbangkan untuk dilepas atau dibebaskan. Berapa waktu minimal yang harus dijalani tergantung pada kebijaksanaan negara-negara yang bersangkutan.
Di Canada, hukum pidananya menentukan hukuman minimal yang harus dijalani oleh terpidana seumur hidup untuk dapat diberikan pembebasan, yaitu telah menjalani minimal 10 tahun penjara untuk pembunuhan dan 20 tahun untuk pembunuhan berencana sebelum pelepasan/pembebasan.
Di Srilanka, narapidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dapat dilepaskan setelah menjalani hukuman 6 tahun penjara.
Di Jepang, Republik Korea. Afrika Selatan, bagi terpidana penjara seumur hidup berlaku minimal telah menjalani 10 tahun sebelum dilepaskan.
Di Jerman, narapidana yang menjalani pidana penjara seumur hidup tidak dapat dipertimbangkan untuk dilepas, sebelum menjalani hukuman 15 tahun.
Di negara-negara Eropa, pada umumnya ada kemungkinan untuk memperkirakan berapa lamanya hukuman seumur hidup dijalani di dalam penjara. Di Perancis, hukuman seumur hidup dijalani 17 sampai 18 tahun penjara. Di Italia, pidana penjara seumur hidup dijalani 21 tahun. Di Austria pidana penjara seumur hidup dijalani 18-20 tahun.
Tetapi di Amerika Serikat, terpidana seumur hidup menjalani pidana penjara selama sisa hidupnya, bahkan menurut laporan ada sekitar 10 ribu narapidana menjali hukuman seumur hidup tanpa ada kemungkinan pelepasan.
Pada umumnya, negara-negara memberikan pertimbangan atau alasan tertentu untuk memberikan kemungkinan pelepasan setelah nara pidana menjalani minimum pidana penjara. Alasan untuk dapat diberikan pelepasan bagi narapidana penjara seumur hidup pada umumnya pertimbangan pada aspek resiko keberbahayaan terhadap masyarakat dari narapidana yang bersangkutan, sehingga ada jenis tindak mpidana tertentu yang tidak memungkinkan diberikan pelepasan pada masa tertentu. Di Ingris misalnya, prosedur pelepasan narapidana yang dihukum seumur hidup dapat diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan selain pembunuhan.
D. Bagaimana di Indonesia.
Potensi penjatuhan pidana penjara seumur hidup oleh pengadilan kepada terdakwa, di Indonesis cukup besar. Besarnya peluang pidana penjara seumur hidup dijatuhkan oleh Pengadilan paling tidak karena dua hal penting: (Tongat, 2004: 87)
1. Kedudukan pidana seumur hidup dalam kebijakan perundang-undangan selama ini, dimana pidana penjara seumur hidup difungsikan sebagai pidana pengganti pidana mati. Dengan semakin kuatnya kelompok penentang pidana mati, maka semakin membuka peluang penerapan pidana selain pidana mati, dan yang paling mendekati adalah pidana penjara seumur hidup.
2. Pidana penjara seumur hidup juga menjadi alternatif dari pidana penjara dua puluh tahun, sehingga juga membuka peluang besar untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup.
Dengan perbandingan praktik pelaksanaan pidana penjara seumur hidup, di beberapa negara ternyata diberikan kemungkinan untuk dibebaskan/dilepaskan, baik dengan syarat maupun tidak dengqan syarat, yaitu setelah terpidana menjalani pidana penjara dalam waktu tertentu.
Di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, nara-pidana penjara seumur hidup, sulit untuk mendapatkan pembebasan. Ketika itu, dengan mendasari pada Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1987 Pasal 7:
(1)Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dapat diberi pengurangan masa menjalani pidana, hanya apabila pidana seumur hidupnya telah diubah menjadi pidana penjara sementara.
(2)Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden.
(3)Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara diajukan oleh narapidana yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mendasari Pasal 7 ayat (2) tersebut, bahwa, ”Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden.” Maka, pidana penjara seumur hidup untuk dapat berubah menjadi pidana penjara sementara hanya dapat dimungkinkan melalui mekanisme Grasi. Dengan ketentuan ini, sesungguhnya pidana penjara seumur hidup untuk dapat menjadi pidana penjara sementara, akan sulit dan kecil peluangnya. Pengalaman menunjukkan bahwa permohonan grasi kepada Presiden untuk pidana penjara seumur hidup tidak ada satupun yang diterima atau dikabulkan. Berdasarkan data di Departemen (sekarang Kementerian) Kehakiman sejak tahun 1987 sampai dengan tahun 1994 ada 34 pemohon grasi pidana penjara sumur hidup tidak diterima/ditolak. (Tonggat, 2006: 103). Jadi, dalam konteks sistem pemidanaan, sepanjang peraturan perundang-undangan belum atau tidak diadakan perubahan, maka terpidana penjara seumur hidup akan kecil kemungkinan mendapatkan perubahan, pengurangan, pembebasan atau pelepasan baik bersyarat maupun tanpa bersyarat, sehingga terpidana seumur hidup harus menjalani pidana penjaranya selama sisa hidupnya.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemsayarakatan, maka Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1987 dirubah untuk disesuaikan dengan semangat pemasyarakatan, dengan Keputusan Presiden RI Nomor 69 tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi). Dalam Pasal 7 dirumuskan:
(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidananya paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik, dapat diubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, sehingga lamanya sisa pidana yang masih harus dijalaninya menjadi paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus.
(3) Dalam hal pidana penjara seumur hidup telah diubah menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka untuk pemberian remisi berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 6 Keputusan Presiden ini.
E. Pengaturan dalam KUHP di masa Mendatang.
Berbicara tatanan pidana dan pemidanaan di masa mendatang, sudah barang tentu memasuki sebuah ranah angan-angan, rencana, ius constituendum, konsep sebuah rancangan undang-undang pidana. Sudah sejak lama, bangsa Indonesia mengidam-idamkan sebuah hukum pidana produk nasional yang diharapkan menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial. Namun, keinginan itu, meski telah diupayakan lebih dari empat puluh tahun lamanya, sampai saat ini belum bisa terwujud. Lamanya penyusunan hukum pidana nasional bukannya tanpa alasan. Barangkali alasan yang paling sederhana adalah, karena hukum pidana nasional harus disusun secara menyeluruh dan didasarkan pada nilai-nilai asli bangsa Indonesia. Perlunya pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh, pernah diingatkan oleh beberapa tokoh hukum pidana seperti Prof Oemar Senoadji, Prof Sudarto, Prof Ruslan Saleh, dll pada Tahun 1963 di Semarang: “betapa pentingnya membangun hukum pidana nasional yang tidak bersifat ad hoc, tambal sulam seperti kain perca (lappedekken), melainkan bersifat sistemik (purposive behavior, wholism, interrelatedness, openness, value transformation, and control mechanism), atas dasar ide nasional dan pandangan, sikap, persepsi, filosofi, dan nilai-nilai budaya (kultur) bangsa Indonesia yang terkait dengan asas-asas hukum pidana, tentu saja tanpa menyampingkan perkembangan hukum pidana yang bersifat universal.” (Muladi, 2008: 1)
Bahkan, tidak saja penting untuk menggali ide nasional dan pandangan, sikap, persepsi, filosofi, dan nilai-nilai budaya (kultur) bangsa untuk merumuskan tindak pidana atau deliknya atau tindakan apa yang akan dijadikan sebagai kejahatan, lebih dari itu juga menyangkut sistem pemidanaannya, apa jenis-jenis pidana yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Termasuk dalam hal pidana penjara seumur hidup, kiranya, sebagai bangsa yang ”pemaaf” sepatutnya merubah pola pemidanaan pidana penjara seumur hidup dengan memberikan peluang atau kesempatan untuk diberikan pembebasan setelah terpidana menjalani masa pidananya dengan batasan waktu tertentu, dengan tetap memperhatiakn dan mempertimbangkan beberapa hal. Misalnya, yang terkait dengan tujuan pemidanaan, antara lain: sikap penyesalan terpidana atas tindak pidana yang dilaklukan, keberbahayaannya terhadap masyarakat, dampak sosial pihak korban, psikologis terpidana, dan aspek-sepek sosial lainnya.
Dalam RUU KUHP, telah dirumuskan tentang kemungkinan pembebasan bersyarat bagi terpidana penjara seumur hidup, sebagaimana yang telah diatur di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 69 Tahun 1999, dengan rumusan yang sedikit berbeda, yaitu, “Apabila terpidana penjara seumur hidup telah menjalani pidana sekurang-kurangnya sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka Menteri Kehakiman, atas usul kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidannya, dapat merubah sisa pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”
Legal spirit dari Undang-undang Pemasyarakatan mengarahkan dengan sistem pemasyarakatan maka fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Maka, dengan diberikannya kemungkinan pembebasan bagi terpidana penjara seumur hidup melalui mekanisme perubahan dari penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, ada harapan bagi terpidana untuk reintegrasi sosial kembali dalam masyarakat.
F. Penutup.
Pidana penjara seumur hidup, sangat menarik untuk ditengok dan dicermati, mengingat jenis pidana penjara seumur hidup ini memiliki keunikan, karena istilah pidana seumur hidup dapat menimbulkan pemahaman atau penafsiran yang berbeda. Pada hakikatnya pidana penjara seumur hidup dijalani selama hidup terpidana, namun dalam praktik di beberapa negara, pelaksanaan pidana penjara seumur hidup tidak dijalani selama hidup terpidana, tetapi diberikan pembebasan setelah terpidana menjalani pidananya dalam kurun waktu tertentu. Di Indonesia, meskipun di dalam KUHP tidak diatur, namun sejak Tahun 1999 dengan dikeluarkannya Keppres RI Nomor 69, terpidana penjara seumur hidup setelah menjali pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan berkelakuan baik sisa pidananya dapat dirubah menjadi pidana penjara sementara 15 (lima belas) tahun. Ketentuan ini telah dimasukkan ke dalam RUU KUHP, sehingga di masa mendatang pidana penjara seumur hidup akan sejalan dengan sistem pemasyarakatan, bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Dalam sistem pemidanaan militer, pidana penjara seumur hidup relatif tidak menjadi persoalan, karena pada umumnya Terpidana penjara seumur hidup juga dijatuhkan pidana tambahan pemecatan, sehingga tahap eksekusi pelaksanaan pidananya dilakukan tidak di Lembaga Pemasayarakatan Militer melainkan di Lembaga Pemsayarakatan Umum.
KEPUSTAKAAN
Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi.
Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Adiyta
Bhakti, 1996.
__________, ”Efektifitas Pidana Penjara” Makalah Seminar Nasional tentang
Pemsyarakatan, Yogyakarta: FHUII 24 Juli 1995.
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana di
Indonesia. Bandung: Alumni, 2005.
Herbert L.Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford, California: Stanford
University Press, 1968.
Muladi, “Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia” Makalah pada
Kongres Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Aspehupiki) dan
Seminar “Pengaruh Globalisasi Terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi
Menghadapi Kejahatan Transnasional,” Bandung 16-18 Maret 2008.
Roeslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987.
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru,
1983.
S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Alumni Ahaem
-Petehaem, 1986.
Tongat. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.
Malang: UMM Pres, 2004.
United Nations, Crime Prevention and Justice Branch. Life Imprisonment.
ST/CSDHA/2A. 1994.
Langganan:
Postingan (Atom)